Sabtu, 13 Maret 2010

Mengakui Kekurangan Diri

Oleh Fauzi Bahreisy

Awal malapetaka dan kehancuran seseorang terjadi ketika penyakit sombong dan merasa diri paling benar bersemayam dalam hatinya. Inilah sifat yang melekat pada iblis. Sifat inilah yang berusaha ditransfer iblis kepada manusia yang bersedia menjadi sekutunya.

Sifat ini ditandai dengan ketidaksiapan untuk menerima kebenaran yang datang dari pihak lain; keengganan melakukan introspeksi (muhasabah); serta sibuk melihat aib dan kesalahan orang lain tanpa mau melihat aib dan kekurangan diri sendiri.

Padahal, kebaikan hanya bisa terwujud manakala seseorang bersikap rendah hati (tawadu); mau menyadari dan mengakui kekurangan diri; melakukan introspeksi; serta siap menerima kebenaran dari siapa pun dan dari mana pun. Sikap seperti ini sebagaimana dicontohkan oleh orang-orang mulia dari para nabi dan rasul.

Nabi Adam AS dan Siti Hawa saat melakukan kesalahan dengan melanggar larangan Tuhan, alih-alih sibuk menyalahkan iblis yang telah menggoda dan memberikan janji dusta, mereka malah langsung bersimpuh mengakui segala kealpaan seraya berkata, "Ya, Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang merugi." (QS Al-A'raf [7]: 23).

Sabtu, 27 Februari 2010

Dekat Tapi Tak Terlihat

oleh Nurudin

Sore kemarin aku terpaksa pulang terlambat sampai hampir setengah jam, karena helm yang biasa kuletakkan di stang motor tak lagi berada ditempatnya. Sependapat dengan satpam, akupun tidak berpikiran bahwa helm bututku itu dicuri orang. Paling-paling ada yang sedang meminjamnya namun tak memberitahu satpam atau si peminjam lupa mengembalikan pada tempatnya semula. Atas saran satpam, akhirnya aku mengelilingi area parkir yang cukup luas itu untuk mencari helmku yang barangkali benar telah berpindah tempat.


Hampir lima belas menit aku mencari, namun tak kutemukan helm yang kuanggap itu adalah helmku. Tak kurang dari sepuluh helm yang serupa dengan helmku, dan aku sama sekali tidak bisa memastikan yang mana helmku. Aku hanya tahu helm ku berwarna hitam, namun aku tak tahu ciri khusus helm yang setiap hari kupakai untuk berangkat kerja bahkan kemanapun aku pergi karena helm itu adalah satu-satunya yang kumiliki. Dan sore itu terpaksa aku pulang melalui jalan alternatif yang arahnya memutar sehingga membutuhkan waktu lebih lama untuk menghindari polisi.
Sebenarnya bisa saja aku pulang melalui jalur yang biasa kulewati, toh tak jauh dari tempatku bekerja ada beberapa penjual helm pinggir jalan. Aku bisa berhenti sebentar dan membeli helm di sana. Namun itu menjadi tidak mungkin karena aku tahu persis jumlah uang dalam dompetku tidak cukup untuk membeli sebuah helm meski untuk harga yang paling murah sekalipun. Ah, tiba-tiba helm menjadi begitu penting dan sangat mahal bagiku.

***
Seringkali, kita memandang remeh terhadap sesuatu yang sebenarnya sangat kita perlukan hanya karena sebuah kebiasaan ataupun rutinitas. Kehilangan helm yang kualami adalah contoh nyatanya. Aku tak mengenali dengan baik sesuatu yang telah memberikan manfaat besar kepadaku. Setiap hari, kemanapun aku pergi, dia selalu memberiku rasa aman dan nyaman. Namun kenyataannya, aku tak tahu lebih banyak tentang helmku.

Hal lain yang juga sering terjadi adalah, kita kerap memandang sebelah mata pada orang-orang yang sebenarnya memberikan peran penting dalam keseharian kerja. Pembantu rumah tangga, office boy adalah mereka yang acapkali tak terlihat jasa besarnya dalam menyelesaikan berbagai macam tugas rumah dan kantor kita. Saat pembantu sedang sakit atau pulang kampung, kita baru sadar bahwa tak mungkin kita melakukan semua pekerjaan rumah sendiri dengan hasil dan waktu yang sama jika dikerjakan oleh pembantu kita. Begitupun saat office boy tidak masuk kerja, seakan semua pekerjaan menjadi tertunda karena kita harus mengerjakan semuanya sendiri, termasuk fotocopy dan mendistribusikan laporan ke departemen lain. Kita baru merasa sangat membutuhkan mereka pada saat mereka tak ada.
Tak hanya benda atau orang, kita juga sering tak bisa ‘melihat’ sesuatu yang sangat dekat dengan kita. Kesehatan misalnya. Dengan nikmat sehat, segala aktifitas pekerjaan bisa kita lakukan dengan lancar. Namun sayangnya kita terkadang baru menyadari dan mensyukuri betapa besarnya nikmat sehat itu manakala kita tak bisa melakukan berbagai aktifitas harian kita karena sakit.
Dekat tapi tak terlihat. Itulah yang sering terjadi pada diri kita. Kita menganggap sesuatu, seseorang atau sebuah nikmat menjadi kecil, biasa, tidak bernilai hanya karena sesuatu, seseorang ataupun nikmat itu setiap hari, setiap saat ada di sekitar kita, bersama-sama kita. Bahkan terkadang kita merasa bahwa keberadaan mereka itu bukan sebuah anugerah melainkan sesuatu yang memang semestinya ada. Kebiasaan kita menganggap kecil dan biasa terhadap mereka, paling parah adalah akhirnya membuat kita lupa bersyukur kepada yang telah menganugerahkan mereka kepada kita, yaitu Allah SWT.

Kita lupa bersyukur kepada Allah bahwa dengan adanya suatu barang atau fasilitas, kehidupan kita menjadi lebih aman dan nyaman. Kita lupa bersyukur kepada Allah bahwa dengan kehadiran orang lain, pekerjaan dan urusan kita menjadi lancar dan ringan dikerjakan. Kita lupa bersyukur kepada Allah bahwa dengan nikmat sehat, hidup kita menjadi bergairah. Kita terkadang lupa bersyukur kepada Allah dengan segala nikmatNya yang tak terhitung, hanya karena nikmat itu selalu ada, dekat dengan kita.

Jangan biarkan rasa penyesalan datang. Mari kita syukuri segala nikmat yang telah Allah anugerahkan kepada kita, salah satunya dengan memberikan perhatian yang berbeda dari biasanya ( peduli ) terhadap apapun di sekililing kita. Karena dengan peduli terhadap mereka, maka rasa syukur akan muncul. Betapa besar nikmat yang Allah berikan, tak ada satupun yang kebetulan ataupun sia-sia.

Ketika Lebih 6 Milyar Manusia Berdoa

Ada kesombongan luar biasa bagi kebanyakan manusia, loh kok bisa? Coba lihat aja data statistik tentang orang yang beriman, di seluruh penjuru dunia yang dihuni lebih dari 6 milyar manusia, baru kurang lebih 1,3 milyar yang yang beragama Islam. Diantara yang Islampun baru kebanyakan Islam yang "KTP" alias baru mengucapkan dua kalimat syahadat atau baru kenampakan Islamnya saat sunatan, pernikahan dan kematian.


Pada saat ketiga acara itulah kebanyakan kenampakan Islamnya, setelah itu susah sekali untuk diajak sholat, susah sekali untuk mengerjakan puasa dan ibadah-ibadah yang lainnya. Tapi syukurlah, masih Islam. Dan kita sangat di larang "mengkafirkan" saudara kita sesama kaum muslimin, betapapun akhlak atau perbuatanya, sangat jauh dari nilai-nilai yang Islami. Kita doakan saja, agar mereka mendapat hidayahNya.
Dan ada kesombongan pada dirimu, ketika sudah merasa "lebih" dari orang lain, karena alasan pangkat, jabatan, kedudukan, harta kekayaan, wajah, kecerdasan ataupun karena keturunan. Yang berpangkat tinggi merendahkan yang pangkat rendah, yang punya jabatan tinggi merendahkan yang jabatannya rendah, yang berkedudukan tinggi merendahkan yang berkedudukan rendah, yang kaya merendahkan yang miskin, yang cantik/ganteng merendah yang buruk rupa, yang cerdas merendahkan yang bodoh, yang kuliah atau terpelajar merendahkan yang tak kuliah atau bukan pelajar, yang jurusan IPA merendahkan yang jurusan IPS, Yang berdarah "biru" merendahkan yang berdarah "merah", yang bisa internet dengan berbagai fasiltasnya merendahkan yang "gaftek" iptek dan seterusnya.

Jadi banyak sekali celah-celah yang membuat orang sombong pada sesamanya. Sehingga terkadang keluar kata-kata penghinaan yang kasar, maaf, bodoh, goblok dan seterusnya, padahal semestinya, orang yang pandai itu bersyukur atas karunia yang telah diberikanNya berupa otak yang "encer" sehingga mudah sekali menyerap berbagai macam ilmu pengetahuan, bukan malah menghina yang bodoh.
Siapa sih yang mau bodoh, miskin, buruk rupa dan sebagainya? Rasanya tak ada manusia di manapun yang mau dirinya bodoh, miskin, buruk rupa dan sebagainya, namun seringkali kita temukan dalam kehidupan, sudah dirinya bodoh, miskin eh rupanyapun buruk, seperti lingkaran setan yang tak berujung. Bukankah orang seperti itu patut dikasihani, bukan malah di cela atau di hina? Dan orang yang bodohpun seringkali bukan orang yang tak mau belajar, belajar nya sudah keras, sudah sungguh-sungguh, tapi otaknya tak mampu menyerap apa yang dipelajarinya. Ada orang membaca satu kali, langsung ingat, mengerti dan paham apa yang baru saja di bacanya, namun jangan lupa, banyak sekali orang yang membaca dan membacanya sudah berkali-kali, tetap saja tak mengerti atau tak memahami apa yang dibacanya, biasanya berkenaan dengan Matematika, istilah Biologi, rumus-rumus Fisika atau Kimia.
Kembali kepada orang yang sombong, yaitu orang merendahkan orang atau orang yang merasa dirinya lebih dari orang lain, dengan alasan yang sudah disebutkan di atas. Itu baru kesombongan kepada sesama manusia, yang boleh jadi kadarnya masih rendah. Yang repot kalau sudah sombong kepada yang menciptakan manusia. Loh memang ada orang yang sombong pada Tuhan ? Banyak, banyak dan banyak sekali.

Orang yang sombong pada Tuhan adalah orang yang tak mau tunduk kepadaNya, tak mau patuh kepadaNya, tak mau menyembahNya, tak mau beribadah kepadaNya, tak mau merendahkan diri padaNya, tak mau sujud kepadaNya, tak mau meminta atau berdoa kepadaNya dan yang lebih celaka lagi, Tuhan tak diakui keberadaanNya, Tuhan dianggap tak ada atau ada yang menduakanNya, menyekutukanNya dan lain sebaginya.

Diantara berbagai jenis kesombongan kepada Tuhan, saya mau angkat yang satu ini yaitu Orang sombong adalah orang yang tak mau meminta kepadaNya, tak mau berdoa kepadaNya. Bayangkan minta aja kepada Tuhan, tak mau! Apa lagi memberi ha-hak Tuhan, sekali lagi, minta aja ga mau, apa lagi memberi! Dan kalau minta atau berdoapun sedikit sekali,kalau berdoa tak mau yang panjang-panjang atau males yang panjang-panjang. Kan doa itu meminta, minta yang banyak ko ga mau ? Aneh memang manusia, minta yang banyak ga mau, apa lagi memberi yang banyak ! Bukankan itu kesombongan yang luar biasa, minta kepada Tuhan atau berdoa kepada Tuhan, ga mau ! Keterlaluan sombongnya, padahal Allah SWT sudah berfirman dalam kitabNya, Al Qur'an " Berdoalah kepadaKu, niscaya akan Aku kabulkan doamu" Coba, Allah sudah membuka pintu lebar-lebar rejekinya, Ayo minta padaKu, jangan ragu-ragu, jangan malu-malu, jangan takut-takut, jangan sedikit-sedikit, minta apa saja padaKu, niscaya Aku kabulkan permintaanmu!
Itulah Tuhan, semakin diminta, Dia semakin senang ! Kebalikan dengan manusia, semakin diminta semakin jengkel, " minta mulu , udah dong, udah habis " dan dengan kata-kata yang sejenisnya. Lain denganNya, semakin diminta, Dia semakin senang, semakin di syukuri nikmatNya, Dia akan tambah nikmatNya kepadamu. Nah enak kan, nikmat di syukuri, akan di tambah nikmat itu. Lagi pula bila 6 enam milyar lebih manusia minta kepadaNya, tak mengurangi kekayaanNya sedikitpun, Diakan Maha Kaya. Lagi pula 6 milyar manusia itu hanya sebatas planet bumi, wah itu sih kecil bagiNya, Coba pikirkan sudah 6 milyar lebih manusia dikasih rejeki, mana terdengar Tuhan kekurangan rejekiNya, mana kedengaran Tuhan habis kekayaanNya ? Semua dikasihpun tak mengurangi "secuil"pun kekayaanNya, kan semua memang milikNya, Ayo, siapa yang berani berkata, apapun yang ada di alam semesta ini bukan milikNya, bukan ciptaanNya ?

Jadi bagiNya memberikan rejeki 6 milyar manusia lebih, tak mengurangi apapun bagi kekayaanNya, loh yang 6 milyar itu juga kan milik Allah! Dan planet Bumi yang dihuni manusia dengan makhluk lainnya, jika dibandingkan dalam tata surya kita saja, kecil, apa lagi kalau dibandingkan seluruh jagat raya ini, Bumi ga ada apa-apanya, hanya sepersekian milyar atau trilunan kecilnya, kalau di ibaratkan debu, Bumi dibandingkan jagat raya ini, amat sangat kecilnya, sebutir debu itu masih terlalu besar! Nah kalau Bumi saja begitu amat sangat kecilnya, apalagi manusia yang ada di dalamnya ( tepatnya dipermukaan Bumi) Karena memang tak ada manusia yang hidup di dalam tanah, kecuali orang mati yang di kubur. Jadi manusia yang 6 milyar lebih itu, ga ada apa-apanya di hadapanNya Yang Maha Besar dan Yang Kuasa, nah kalau yang 6 milyar saja ga ada-apanya, apa lagi kalau orang- perorang atau individu perindividu, ya ampun, kecil banget! Kalau melihat kenyataan ini, masihkan kita mau sombong? Masihkan kita mau merendahkan orang lain ? Masihkan merasa diri hebat? Masihkah kita tak mau meminta kepadaNya? Masihkah tak mau berdoa kepadaNya? Padahal diri sendiri tak ada apa-apanya!

Astagfirullah hal adziim.

Eramuslim -

Sabtu, 09 Januari 2010

Berani Memilih

Penulis : Lara Octavini

Alkisah, ada dua buah bibit tanaman yang hendak tumbuh di hamparan lahan yang subur. Bibit pertama berkata, "Kuingin segera tumbuh, batangku besar, akarku menjejak dalam-dalam dan kokoh di tanah ini, tunasku menyerabut kuat di antara kerasnya tanah ini. Kuingin sampaikan salam untuk musim semi, rasakan hangatnya mentari dan nikmati lembutnya embun yang bersarang di pucuk-pucuk daunku kala pagi." Syahdan, bibit pertama pun segera tumbuh besar, akarnya kokoh, dan pohonnya pun tinggi menjulang.



Bibit kedua sedikit gusar, ia hanya bergumam, "Bagaimana jika kutanam akarku, apa yang bakal kujumpai di bawah sana. Tidakkah di dalam sana gelap? Lantas kalau kelak tunasku menerobos ke atas, tidakkah keindahannya akan sirna? Tunasku pasti terkoyak, belum lagi jika terbuka akan banyak siput yang coba melahapnya. Tidak, akan lebih baik jika aku menunggu sampai semuanya aman."

Bisa dibayangkan, bibit itu pun urung tumbuh, menunggu dalam ketidakpastian, dan merasakan sepi dalam kesendirian. Tak selang berapa lama, seekor ayam datang memburu makanan di lahan itu, ia dapatkan bibit kedua tadi dan dicaploknya segera.

Cerita ini berungkali dikisahkan, tetapi tetap menggugah, menggelitik, dan tidak membosankan. Demikian pula dengan hidup kita ini, meski berani menjatuhkan pilihan. Tantangan untuk memilih adalah penggal cerita dari proses pendewasaan.

Opsi-opsi yang meski kita pilih terkadang tak selamanya mengenakkan. Di depan, segelintir prajurit, hanya tersisa jurang batu nan terjal. Di saat yang sama, musuh dari arah belakang siap menyerang. Maju kena mundur kita kena juga. Maju atau berbalik mundurkah kita? Loncat ke jurang, pasukan mati konyol dan nyawa melayang sia-sia. Berbalik arah dan menyerang, mati sebagai pahlawan dan mendapat kemuliaan.

Di saat seperti itulah opsi-opsi yang melintas seakan tidak memihak. Namun, baiknya sejenak berpikirlah ulang, cermati negatif dan positifnya. Dari sekian opsi yang buruk sekalipun pasti masih ada pilihan terbaik dari yang terburuk. Lebih baik memilih daripada harus pasrah dan tidak berbuat apa-apa dan menyisakan penyesalan pada akhirnya. Putusan untuk memilih ada di tangan kita, persoalan hasil akhirnya, itu jauh di luar kuasa kita.

Berani memilih berarti paling tidak anda sudah menyelesaikan satu dari beban masalah, masalah kebingungan dan ketidakpastian. Takut memilih, itu artinya anda takut hidup, karena hidup adalah memilih. Terbaik dari yang terburuk sekalipun.

Wallahu a'lam.

source : kotasantri