Minggu, 15 November 2009

Cari kesamaan, bukan perbedaan

Saya amat terkesan dengan apa yang diajarkan guru sekolah dasar ketika pertama kali masuk sekolah. Ibu Guru menggambar dua buah lingkaran di papan tulis. Ia menamai lingkarang yang satu Laki-laki, sedangkan lingkaran yang lain Perempuan.

Kedua lingkaran itu saling menabrak sehingga terbentuk sebuah bidang kecil yang menjadi bagian yang sama dari kedua lingkaran tersebut. Sambil menunjuk bidang tersebut, Ibu Guru berkata, "Bidang ini milik bersama kedua lingkaran. Tujuannya, untuk mewadahi hal-hal yang punya kemiripan baik yang dimiliki anak laki-laki maupun anak perempuan. Nah, mari kita isi bersama-sama, apa saja yang bisa kita masukkan di tempat ini!"


Murid-murid kemudian saling menyebutkan apa saja kesamaan antara anak lelaki dan perempuan semisal, "menangis, tertawa, makan, minum," Mereka melanjutkan, "Kita semua bisa berantem, bisa bermain, dan kita semua suka es krim, dan masih banyak lagi."

Setelah itu Ibu Guru menggambar tiga buah lingkaran di papan tulis. Masing-masing lingarakan diberi nama Hitam, Putih, dan Kuning. Sekali lagi ia menjelaskan, ketiga lingkaran itu saling menabrak satu sama lain sehingga tercipta sebuah bidang yang menjadi milik bersama. Bidang itu dipakai untuk menampung segala sesuatu yang dari kelompok yang memiliki kesamaan. Nah, apa yang harus kita masukkan dalam ruangan itu?

Kembali usulan murid membanjir. Akhirnya ada seorang anak yang maju ke depan. Sambil menujuk bidang dalam ketiga lingkaran itu ia berkata, "Bidang di mana ketiga lingkaran itu saling menempel terlalu kecil Kita perlu memperbesar agar semua kesamaan-kesamaan yang kita punyai bisa tertampung di dalamnya."

Apa yang dikatakan murid cerdas itu memang benar. Insan manusia itu pada kenyataannya memang memiliki lebih banyak kesamaan antara yang satu dengan yang lain daripada perbedaan-perbedaannya.

"Hai Manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesunggunya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." (Al Hujuraat:13)

Rabu, 11 November 2009

Maafkan aku Ibu

Written by syadat
Monday, 09 November 2009 09:55

Alkisah di sebuah desa, ada seorang ibu yang sudah tua, hidup berdua dengan anak satu-satunya Suaminya sudah lama meninggal karena sakit Sang ibu sering kali merasa sedih memikirkan anak satu-satunya. Anaknya mempunyai tabiat yang sangat buruk yaitu suka mencuri, berjudi, mengadu ayam dan banyak lagi Ibu itu sering menangis meratapi nasibnya yang malang, Namun ia sering berdoa memohon kepada Tuhan: “Tuhan tolong sadarkan anakku yang kusayangi, supaya tidak berbuat dosa lagi Aku sudah tua dan ingin menyaksikan dia bertobat sebelum aku mati”


Namun semakin lama si anak semakin larut dengan perbuatan jahatnya, sudah sangat sering ia keluar masuk penjara karena kejahatan yang dilakukannya
Suatu hari ia kembali mencuri di rumah penduduk desa, namun malang dia tertangkap
Kemudian dia dibawa ke hadapan raja utk diadili dan dijatuhi hukuman pancung
pengumuman itu diumumkan ke seluruh desa, hukuman akan dilakukan keesokan hari
di depan rakyat desa dan tepat pada saat lonceng berdentang menandakan pukul enam pagi
Berita hukuman itu sampai ke telinga si ibu dia menangis meratapi anak yang dikasihinya dan berdoa berlutut kepada Tuhan “Tuhan ampuni anak hamba, biarlah hamba yang sudah tua ini yang menanggung dosa nya” Dengan tertatih tatih dia mendatangi raja dan memohon supaya anaknya dibebaskan Tapi keputusan sudah bulat, anakknya harus menjalani hukuman Dengan hati hancur, ibu kembali ke rumah Tak hentinya dia berdoa supaya anaknya diampuni, dan akhirnya dia tertidur karena kelelahan Dan dalam mimpinya dia bertemu dengan Tuhan

Keesokan harinya, ditempat yang sudah ditentukan, rakyat berbondong2 manyaksikan hukuman tersebut Sang algojo sudah siap dengan pancungnya dan anak sudah pasrah dengan nasibnya Terbayang di matanya wajah ibunya yang sudah tua, dan tanpa terasa ia menangis menyesali perbuatannya Detik-detik yang dinantikan akhirnya tiba
Sampai waktu yang ditentukan tiba, lonceng belum juga berdentang sudah lewat lima menit dan suasana mulai berisik, akhirnya petugas yang bertugas membunyikan lonceng datang Ia mengaku heran karena sudah sejak tadi dia menarik tali lonceng tapi suara dentangnya tidak ada Saat mereka semua sedang bingung, tiba2 dari tali lonceng itu mengalir darah Darah itu berasal dari atas tempat di mana lonceng itu diikat Dengan jantung berdebar2 seluruh rakyat menantikan saat beberapa orang naik ke atas menyelidiki sumber darah Tahukah anda apa yang terjadi?

Ternyata di dalam lonceng ditemui tubuh si ibu tua dengan kepala hancur berlumuran darah dia memeluk bandul di dalam lonceng yang menyebabkan lonceng tidak berbunyi,
dan sebagai gantinya, kepalanya yang terbentur di dinding lonceng Seluruh orang yang menyaksikan kejadian itu tertunduk dan meneteskan air mata
Sementara si anak meraung raung memeluk tubuh ibunya yang sudah diturunkan Menyesali dirinya yang selalu menyusahkan ibunya Ternyata malam sebelumnya si ibu dengan susah payah memanjat ke atas dan mengikat dirinya di lonceng Memeluk besi dalam lonceng untuk menghindari hukuman pancung anaknya.

sumber : www.solifecenter.com

Minggu, 01 November 2009

PRIBADI TO DO, TO HAVE, ATAU TO BE?

“Kegembiraan terbesar dalam hidup adalah keyakinan bahwa kita dicintai. Oleh karenanya, kita membagikan cinta bagi orang lain.” (Victor Hugo)
Tidak ada yang bisa menghentikan waktu. Ia terus maju. Umur terus bertambah. Manusia pun mengalami babak-babak dalam hidupnya. Saat masuk fase dewasa, orang memasuki tiga tahapan kehidupan.

Ada masa di mana orang terfokus untuk melakukan sesuatu (to do). Ada saat memfokuskan diri untuk mengumpulkan (to have). Ada yang giat mencari makna hidup (to be). Celakanya, tidak semua orang mampu melewati tiga tahapan proses itu.

Fase pertama, fase to do. Pada fase ini, orang masih produktif. Orang bekerja giat dengan seribu satu alasan. Tapi, banyak orang kecanduan kerja, membanting tulang, sampai mengorbankan banyak hal, tetap tidak menghasilkan buah yang lebih baik. Ini sangat menyedihkan. Orang dibekap oleh kesibukan, tapi tidak ada kemajuan. Hal itu tergambar dalam cerita singkat ini. Ada orang melihat sebuah sampan di tepi danau. Segera ia meloncat dan mulailah mendayung. Ia terus mendayung dengan semangat. Sampan memang bergerak. Tapi, tidak juga menjauh dari bibir danau. Orang itu sadar, sampan itu masih terikat dengan tali di sebuah tiang.
Nah, kebanyakan dari kita, merasa sudah bekerja banyak. Tapi, ternyata tidak produktif. Seorang kolega memutuskan keluar dari perusahaan. Ia mau membangun bisnis sendiri. Dengan gembira, ia mempromosikan bisnisnya. Kartu nama dan brosur disebar. Ia bertingkah sebagai orang sibuk.
Tapi, dua tahun berlalu, tapi bisnisnya belum menghasilkan apa-apa. Tentu, kondisi ini sangat memprihatinkan. Jay Abraham, pakar motivasi bidang keuangan dan marketing pernah berujar, “Banyak orang mengatakan berbisnis. Tapi, tidak ada hasil apa pun. Itu bukanlah bisnis.” Marilah kita menengok hidup kita sendiri. Apakah kita hanya sibuk dan bekerja giat, tapi tanpa sadar kita tidak menghasilkan apa-apa?
Fase kedua, fase to have. Pada fase ini, orang mulai menghasilkan. Tapi, ada bahaya, orang akan terjebak dalam kesibukan mengumpulkan harta benda saja. Orang terobesesi mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Meski hartanya segunung, tapi dia tidak mampu menikmati kehidupan. Matanya telah tertutup materi dan lupa memandangi berbagai keindahan dan kejutan dalam hidup. Lebih-lebih, memberikan secuil arti bagi hidup yang sudah dijalani. Banyak orang masuk dalam fase ini.
Dunia senantiasa mengundang kita untuk memiliki banyak hal. Sentra-sentra perbelanjaan yang mengepung dari berbagai arah telah memaksa kita untuk mengkonsumsi banyak barang.
Bahkan, dunia menawarkan persepsi baru. Orang yang sukses adalah orang yang mempunyai banyak hal. Tapi, persepsi keliru ini sering membuat orang mengorbankan banyak hal. Entah itu perkawinan, keluarga, kesehatan, maupun spiritual.
Secara psikologis, fase itu tidaklah buruk. Harga diri dan rasa kepuasan diri bisa dibangun dengan prestasi-prestasi yang dimiliki. Namun, persoalan terletak pada kelekatannya. Orang tidak lagi menjadi pribadi yang merdeka.
Seorang sahabat yang menjadi direktur produksi membeberkan kejujuran di balik kesuksesannya. Ia meratapi relasi dengan kedua anaknya yang memburuk. “Andai saja meja kerja saya ini mampu bercerita tentang betapa banyak air mata yang menetes di sini, mungkin meja ini bisa bercerita tentang kesepian batin saya…,” katanya.
Fase itu menjadi pembuktian jati diri kita. Kita perlu melewatinya. Tapi, ini seperti minum air laut. Semakin banyak minum, semakin kita haus. Akhirnya, kita terobsesi untuk minum lebih banyak lagi.
Fase ketiga, fase to be. Pada fase ini, orang tidak hanya bekerja dan mengumpulkan, tapi juga memaknai. Orang terus mengasah kesadaran diri untuk menjadi pribadi yang semakin baik. Seorang dokter berkisah. Ia terobesesi menjadi kaya karena masa kecilnya cukup miskin. Saat umur menyusuri senja, ia sudah memiliki semuanya. Ia ingin mesyukuri dan memaknai semua itu dengan membuka banyak klinik dan posyandu di desa-desa miskin.
Memaknai hidup
Ia memaknai hidupnya dengan menjadi makna bagi orang lain. Ada juga seorang pebisnis besar dengan latar belakang pertanian hijrah ke desa untuk memberdayakan para petani. Keduanya mengaku sangat menikmati pilihannya itu.
Fase ini merupakan fase kita menjadi pribadi yang lebih bermakna. Kita menjadi pribadi yang berharga bukan karena harta yang kita miliki, melainkan apa yang bisa kita berikan bagi orang lain.
Hidup kita seperti roti. Roti akan berharga jika bisa kita bagikan bagi banyak orang yang membutuhkan. John Maxwell dalam buku Success to Significant mengatakan “Pertanyaan terpenting yang harus diajukan bukanlah apa yang kuperoleh. Tapi, menjadi apakah aku ini?”
Nah, Mahatma Gandhi menjadi contoh konkret pribadi macam ini. Sebenarnya, ia menjadi seorang pengacara sukses. Tapi, ia memilih memperjuangkan seturut nuraninya. Ia menjadi pejuang kemanusiaan bagi kaum papa India.
Nah, di fase manakah hidup kita sekarang? Marilah kita terobsesi bukan dengan bekerja atau memiliki, tetapi menjadi pribadi yang lebih matang, lebih bermakna dan berkontribusi!

source : emotivasi.com